
Pada masa penjajahan dahulu, di wilayah Lamongan bagian utara, terbentang sebuah tanah yang sepi dan dikelilingi rawa-rawa. Tempat itu belum bernama desa, hanya dikenal sebagai kawasan hutan basah dengan banyak kolam air dan saluran kecil tempat hidup ikan, katak, dan belut. Di sanalah kelak berdiri Desa Latek, yang menyimpan kisah aneh namun penuh makna tentang seekor belut putih dan seorang lelaki cacat yang menjadi saksi lahirnya pantangan turun-temurun.
Kisah ini bermula ketika pasukan penjajah Belanda datang menyisir daerah tersebut. Mereka memburu para penduduk yang menolak tunduk pada perintah dan pajak. Orang-orang yang tinggal di sekitar rawa ketakutan. Mereka berlari ke segala arah, bersembunyi di semak-semak, di balik batang pohon, dan di lubang-lubang tanah. Namun di antara mereka ada seorang lelaki tua bernama Mbah Kromo, seorang petani yang kakinya pincang akibat kecelakaan saat muda. Ia tidak bisa berlari cepat seperti yang lain. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar melihat para serdadu mendekat.
Dalam keputusasaan, Mbah Kromo menemukan sebuah gobangan air, semacam sumur kayu yang biasa digunakan untuk menampung air hujan. Dengan sisa tenaga, ia menceburkan diri ke dalamnya, berharap tidak ditemukan. Air di dalam gobangan itu keruh dan dingin, menyentuh tubuhnya hingga sebatas dada. Ia menahan napas, menunggu pasukan penjajah lewat.
Namun saat itulah sesuatu yang tak biasa terjadi. Dari kedalaman air yang gelap, muncul seekor belut besar berwarna putih. Tubuhnya licin dan berkilau samar seperti perak di bawah cahaya matahari yang menembus celah pepohonan. Belut itu berenang pelan mendekati kaki Mbah Kromo, lalu menjilatinya perlahan, seolah sedang menyembuhkan luka. Sentuhan lidah belut itu terasa hangat dan menenangkan. Mbah Kromo terkejut, tapi tidak bergerak. Ia hanya bisa berdoa dalam hati agar makhluk itu tidak menyakitinya.
Tak lama kemudian, suara langkah-langkah berat para penjajah terdengar mendekat. Mereka berhenti tepat di dekat sumur. Salah satu di antara mereka menatap ke dalam, tetapi pandangannya seakan terhalang sesuatu. Entah bagaimana, meski Mbah Kromo berada tepat di bawah mata mereka, para penjajah tidak melihatnya. Mereka hanya menggerutu dan berlalu pergi.
Ketika keadaan sudah tenang, Mbah Kromo keluar dari air dengan tubuh gemetar. Belut putih itu masih di sana, berenang mengelilinginya sebelum akhirnya menghilang ke dalam dasar air yang gelap. Sejak saat itu, Mbah Kromo percaya bahwa hidupnya telah diselamatkan oleh makhluk tersebut. Ia menamai tempat itu sebagai “Latek,” yang berasal dari ungkapan Jawa ndilat sampek katek, artinya “menjilat sampai lelah,” mengingat bagaimana belut itu terus menjilati kakinya dalam waktu yang lama.
Setelah kejadian itu, Mbah Kromo membuat sebuah titah kepada anak dan keturunannya. Ia berpesan, “Anak putuku sok mben ojo mangan welut,” yang berarti, “Keturunanku kelak jangan makan belut.” Baginya, belut bukan lagi sekadar hewan, melainkan penjaga dan penolong. Sejak saat itu, belut dianggap suci oleh penduduk sekitar. Mereka percaya bahwa memakan belut akan mendatangkan kesialan atau penyakit.
Waktu berlalu, penjajahan berakhir, dan tanah itu menjadi desa yang makmur. Desa itu akhirnya diberi nama Latek, mengikuti kisah Mbah Kromo dan belut putihnya. Hingga kini, pantangan memakan belut masih dipegang teguh oleh sebagian warga asli Latek. Mereka mengajarkan kepada anak-anak bahwa kisah itu bukan sekadar mitos, melainkan bentuk penghormatan terhadap kehidupan dan alam.
Di desa itu pula, masih berdiri sebuah sumur tua yang dipercaya sebagai tempat terjadinya peristiwa tersebut. Letaknya berada di dekat Masjid Al-Azhar, di tengah desa. Air dari sumur itu jernih dan terasa sejuk. Banyak orang datang untuk mengambil airnya, terutama mereka yang memiliki anak yang kesulitan berjalan. Warga percaya bahwa jika anak-anak itu dimandikan dengan air sumur tersebut, lambat laun mereka akan dapat melangkah dengan ringan. Selain untuk pengobatan, air sumur juga digunakan untuk minum dan wudu karena dipercaya membawa berkah dan ketenangan batin.
Belut, bagi masyarakat Latek, memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar bahan pangan. Ia adalah simbol kehidupan yang lentur, yang mampu bertahan di lumpur namun tetap bersih, dan sekaligus lambang perlindungan dari bahaya. Walaupun bagi banyak tempat belut menjadi sumber gizi yang kaya protein, di Desa Latek hewan ini dihormati sebagai sahabat manusia.
Maka setiap kali hujan turun dan suara gemericik air memenuhi sawah, orang-orang Latek akan teringat akan kisah Mbah Kromo dan belut putih yang menolongnya. Di sanalah, dalam ketenangan air, mereka belajar tentang rasa syukur, penghormatan kepada alam, dan keajaiban yang terjadi ketika manusia hidup selaras dengan ciptaan Tuhan.