Cerita Ki Buyut Terik Basmi Kapak Berandal – Babat Alas Desa Tlemang Lamongan

URL Cerital Digital: https://www.detik.com/jatim/budaya/d-7101597/cerita-ki-buyut-terik-basmi-kapak-berandal-babat-alas-desa-tlemang-lamongan

Di ujung barat daya Kabupaten Lamongan, di sebuah desa bernama Tlemang, masyarakat setempat masih menyimpan kisah lama yang diwariskan turun-temurun. Kisah itu adalah tentang seorang tokoh sakti dan bijak yang mereka panggil dengan penuh hormat sebagai Ki Buyut Terik. Namanya masih hidup dalam ingatan warga hingga kini, karena dialah yang membuka hutan, menumpas kejahatan, dan menanam dasar kehidupan bagi desa yang damai dan makmur.

Konon, jauh sebelum wilayah Tlemang ramai seperti sekarang, daerah itu masih berupa hutan lebat yang dihuni binatang buas dan para perampok yang menamakan diri mereka Kapak Berandal. Mereka menebar ketakutan di seluruh pelosok, merampas hasil bumi, dan membuat rakyat hidup dalam penderitaan. Saat itu, datanglah seorang pengembara dari arah barat, seorang santri dari Sunan Giri yang bernama Raden Nurlali, atau dikenal pula dengan nama Raden Trokso.

Raden Nurlali meninggalkan Kerajaan Mataram karena hatinya gelisah melihat campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Ia memilih jalan sunyi, menempuh perjalanan jauh hingga sampai di Gresik, di mana ia berguru kepada Sunan Giri. Di bawah bimbingan sang wali, ia belajar bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang keberanian, kebijaksanaan, dan tanggung jawab terhadap sesama manusia.

Setelah beberapa waktu, Sunan Giri memandang muridnya itu telah cukup matang. Maka diberilah ia tugas mulia: untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan bagian barat daya, sekaligus menumpas kejahatan yang dilakukan Kapak Berandal di hutan Tlemang. Sebagai bekal, Sunan Giri memberinya dua pusaka penting. Yang pertama adalah senjata sakti bernama Sanggruk Semalang Gandring, dan yang kedua adalah tongkat wasiat Wulung Gading, yang kelak menjadi bagian penting dalam kisah hidupnya.

Raden Nurlali berangkat menuju hutan Tlemang dengan tekad yang kuat. Hari-hari ia lewati dengan menghadapi tantangan berat. Setiap malam, ia bermeditasi di bawah pepohonan besar sambil berdoa agar diberi petunjuk. Hingga pada suatu malam, ketika bulan purnama menggantung tinggi di langit, ia mendengar suara lirih dari arah hutan bambu. Suara itu memanggil namanya, mengarahkannya menuju tempat persembunyian para perampok.

Pertempuran besar pun terjadi. Raden Nurlali menghadapi para Kapak Berandal dengan keberanian luar biasa. Ia mengayunkan pusaka Sanggruk Semalang Gandring dengan doa di bibirnya. Dalam waktu singkat, hutan yang semula menjadi sarang kejahatan itu berubah menjadi tempat yang tenteram. Rakyat pun kembali berani menempati tanah yang dulunya mereka tinggalkan.

Sebagai tanda keberkahan atas keberhasilannya, Raden Nurlali menancapkan tongkat pusaka Wulung Gading ke tanah yang baru dibersihkan. Dari tempat tongkat itu berdiri, tumbuhlah tunas hijau muda yang disebut “terik” atau “tukul” dalam bahasa Jawa, yang berarti tumbuh atau bangkit. Sejak saat itu, Raden Nurlali dikenal dengan nama Ki Buyut Terik, sebagai lambang kehidupan baru yang muncul dari keberanian dan pengorbanannya.

Tongkat Wulung Gading itu kemudian menjadi simbol kehidupan di Tlemang. Dikisahkan bahwa tongkat itu terbuat dari pohon kelapa wulung, sejenis kelapa berwarna keunguan yang tumbuh di tepi hutan. Pohon ini dianggap suci karena air kelapanya bermanfaat bagi manusia. Airnya menyegarkan tubuh setelah bekerja, isinya kaya akan mineral dan elektrolit, sementara daging buahnya sering dijadikan santapan bagi para petani setelah menebas ladang. Rebung kelapanya, atau tunas mudanya, bahkan digunakan untuk mengobati luka dan menambah kekuatan tubuh.

Masyarakat percaya bahwa kelapa wulung adalah anugerah dari bumi yang sama dengan semangat Ki Buyut Terik: menyejukkan, menumbuhkan, dan memberi kehidupan. Karena itulah, hingga kini, setiap kali musim panen tiba atau upacara desa digelar, air kelapa wulung selalu disuguhkan kepada tamu sebagai lambang kesucian dan penghormatan terhadap alam serta leluhur.

Setelah menumpas para Kapak Berandal dan membuka hutan menjadi desa, Ki Buyut Terik diangkat menjadi pemimpin masyarakat oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. Pengangkatannya dilakukan dengan penuh khidmat, dihadiri oleh para ulama, sahabat-sahabatnya, dan warga dari berbagai penjuru. Sejak saat itu, Tlemang tumbuh menjadi desa makmur yang penuh dengan kehidupan.

Namun bagi warga, yang paling mereka kenang bukanlah kemenangan perang, melainkan ajaran Ki Buyut Terik tentang hidup selaras dengan alam. Ia mengingatkan, sebagaimana air kelapa memberi kesejukan tanpa pamrih, manusia pun harus memberi manfaat bagi sesama. “Tanamlah kebaikan, meski kecil seperti tunas kelapa, karena suatu hari akan tumbuh menjadi pohon yang meneduhkan dunia,” begitu pesan yang masih diingat oleh para tetua Tlemang hingga hari ini.

Kini, Desa Tlemang tidak hanya dikenal karena sejarahnya, tetapi juga karena ritual budaya yang diwariskan dari masa Ki Buyut Terik. Setiap tahun, warga menggelar tradisi Mendhak Sanggring untuk mengenang perjuangan sang pendiri desa. Di sela-sela doa dan kenduri, mereka meminum air kelapa wulung sebagai lambang kesucian hati dan kekuatan hidup.

Dan di antara semua cerita itu, tongkat Wulung Gading masih disebut-sebut dengan penuh hormat, seolah menjadi saksi abadi dari kisah seorang kesatria yang menanam kehidupan di tanah yang dulu gelap oleh ketakutan. Dari tanah itulah, kehidupan tumbuh, air mengalir, dan manusia belajar bahwa pangan, alam, dan iman adalah tiga hal yang tidak bisa dipisahkan.

Bagikan Cerita Rakyat

Artikel Terbaru

Ingin Berkontribusi?

Mari bersama melestarikan warisan Nusantara melalui cerita, data, dan kolaborasi.