Di Kabupaten Jombang terdapat sebuah desa bernama Jatisari. Nama ini lahir dari kisah masa lalu ketika masyarakat setempat melakukan babat alas, membuka hutan lebat untuk dijadikan tempat tinggal. Pada saat itu, mereka menemukan sebuah pohon jati yang sangat besar, menjulang gagah seolah menjadi penanda alam. Pohon tersebut menimbulkan kekaguman mendalam bagi para perintis desa. Dari pohon jati inilah kemudian nama Jatisari diberikan, yang hingga kini tetap melekat sebagai identitas desa.
Pohon jati tidak hanya dipandang sebagai pohon yang kuat dan berumur panjang, tetapi juga memiliki kegunaan yang erat dengan kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah daun jati yang biasa dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan alami. Dengan bungkus daun jati, makanan tidak hanya terlindungi, tetapi juga terjaga kesegarannya serta memiliki aroma khas yang menambah cita rasa. Tradisi ini masih dikenal hingga sekarang, meski penggunaan pembungkus modern sudah banyak menggantikan.
Selain kisah pohon jati, di sekitar wilayah Jatisari juga berkembang dusun-dusun lain dengan cerita asal-usul yang menarik. Salah satunya adalah Dusun Bunder, yang mendapat nama dari pusaran air dahsyat hasil pertemuan Sungai Brantas dan Sungai Beng. Pusaran berbentuk melingkar itu menjadi penanda alam yang kemudian diwariskan sebagai nama dusun. Fenomena air tersebut bukan hanya kisah, melainkan juga gambaran betapa eratnya hubungan masyarakat dengan sungai sebagai sumber kehidupan.
Ada pula Dusun Binorong dan Dusun Gebang yang bersama-sama dengan Jatisari dan Bunder membentuk kesatuan wilayah. Karena letaknya yang berjajar, dua dusun ini seakan mengapit Jatisari dan Binorong, sehingga lahirlah nama Gebangbunder. Keempat dusun tersebut akhirnya digabung pada masa pemerintahan Belanda sekitar tahun 1921, dan secara resmi ditetapkan sebagai Desa Gebangbunder melalui peraturan daerah.
Meski kini desa telah berubah dengan pemukiman dan lahan pertanian yang berkembang, jejak sejarah asal-usul nama Jatisari masih terjaga dalam ingatan masyarakat. Pohon jati besar yang dulu menjadi penanda kini sudah terkubur di tanah pemukiman, tetapi nilai yang diwariskan tetap hidup dalam budaya setempat. Nama Jatisari mengingatkan masyarakat pada kekuatan, keteguhan, serta kearifan dalam memanfaatkan alam untuk kelangsungan hidup.
Penggunaan daun jati sebagai pembungkus makanan juga menjadi simbol kearifan lokal yang sarat makna. Di tengah modernisasi, praktik sederhana itu menunjukkan bagaimana alam menyediakan solusi alami yang ramah lingkungan. Dengan bungkus daun jati, nasi dan lauk pauk tetap hangat, segar, dan harum, seolah menghadirkan keaslian rasa yang tak tergantikan oleh plastik atau kertas.
Kini, Desa Jatisari bukan hanya sebuah tempat tinggal, melainkan juga warisan budaya yang menuturkan cerita tentang pohon jati, sungai yang berarus deras, dan tradisi pangan alami yang lestari. Setiap kali nama Jatisari disebut, tersirat pesan tentang bagaimana manusia menghargai alam, mengambil manfaat darinya, sekaligus menjaga nilai-nilai kebersamaan yang telah diwariskan turun-temurun.