Di tengah bentangan tanah hijau di Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, terdapat sebuah desa yang menyimpan cerita lama tentang air dan kehidupan. Desa itu bernama Bandung, dan di balik namanya tersimpan legenda tentang sumber air yang menjadi nadi bagi masyarakatnya sejak berabad-abad silam.
Konon, dahulu kawasan ini bukanlah desa seperti sekarang. Ia hanyalah sebuah dusun kecil bernama Dukuh Tempel, bagian dari wilayah Desa Baleturi. Tanahnya masih lebat ditumbuhi hutan dan semak liar, sementara aliran sungai kecil menembus di antara pepohonan rimbun. Di masa itu, hanya segelintir orang yang berani menetap di sana, hidup sederhana dengan bertani dan menggembala.
Sekitar tahun 1830, muncullah seorang tokoh bernama Kinomito. Ia dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan memiliki tekad kuat untuk membangun tempat tinggal yang lebih baik bagi masyarakatnya. Dengan kerja keras dan gotong royong, Kinomito bersama warga mulai menebang hutan dan membuka lahan baru. Sedikit demi sedikit, wilayah Dukuh Tempel berubah menjadi kawasan yang lebih luas dan subur. Pepohonan besar yang tumbang memberi ruang bagi ladang, sementara jalan setapak dibangun untuk menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya.
Perjuangan itu tidak sia-sia. Hutan yang dulunya gelap kini berubah menjadi permukiman yang ramai oleh suara cangkul dan tawa anak-anak. Karena semakin berkembang dan memiliki identitas sendiri, masyarakat pun sepakat untuk memisahkan diri dari Desa Baleturi. Dari sinilah lahir sebuah desa baru yang diberi nama Desa Bandung.
Namun, kisah Desa Bandung tidak berhenti di situ. Di balik penamaan desa tersebut, terdapat legenda yang menyentuh tentang Sumber Bandung, sebuah mata air besar yang diyakini menjadi asal mula kehidupan di wilayah itu. Menurut cerita turun-temurun, sumber air ini ditemukan oleh Kinomito ketika ia sedang menelusuri hutan bersama beberapa warga. Mereka mendengar suara gemericik yang seolah memanggil dari balik semak belukar. Saat didekati, mereka menemukan sebuah pancuran air jernih yang memancar deras dari celah batu, mengalir tanpa henti bahkan di musim kemarau.
Air itu begitu bening dan segar, hingga warga percaya bahwa tempat tersebut adalah anugerah langsung dari alam untuk memberi kehidupan. Sejak saat itu, Sumber Bandung menjadi pusat kehidupan masyarakat. Dari sanalah mereka mengambil air untuk minum, memasak, dan mengairi ladang. Bahkan hingga kini, sumber tersebut tetap menjadi penopang utama kebutuhan warga sekitar.
Keberadaan sumber air ini menjadikan Desa Bandung tidak hanya kaya secara alamiah, tetapi juga secara makna. Air menjadi lambang kehidupan, ketenangan, dan keberlanjutan. Dalam tradisi setempat, warga selalu menjaga kebersihan sumber tersebut dan melaksanakan selametan setiap tahun sebagai bentuk rasa syukur atas berkah alam yang tidak pernah kering.
Sumber Bandung mengajarkan banyak hal kepada masyarakatnya. Dari air yang terus mengalir, mereka belajar tentang kesetiaan dan keberlanjutan hidup. Dari jernihnya pancuran, mereka memahami makna kemurnian hati dan gotong royong. Dan dari sejuknya aliran air yang menghidupi ladang, mereka menumbuhkan rasa hormat terhadap alam yang memberi tanpa meminta balasan.
Kini, ketika Desa Bandung telah berkembang dengan rumah-rumah modern dan jalan yang beraspal rapi, suara gemericik Sumber Bandung masih terdengar sama seperti dua abad lalu. Ia menjadi pengingat bahwa di balik setiap teguk air yang diminum, tersimpan kisah perjuangan dan kebijaksanaan leluhur yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Dari kisah inilah, masyarakat belajar bahwa pangan dan kehidupan tidak hanya berasal dari tanah yang ditanami, tetapi juga dari air yang menghidupi segalanya. Sumber Bandung bukan sekadar tempat, melainkan simbol kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.