Di kaki Gunung Renteng Utara yang menjulang megah, berdiri sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang raja gagah bernama Nararaja Wikrama Mahesa. Raja ini dikenal bijak sekaligus ambisius. Ia ingin memperluas kekuasaan hingga ke negeri Ngatas Angin, sebuah wilayah di lereng Gunung Wilis bagian selatan yang subur dan kaya hasil bumi. Namun untuk menaklukkannya, ia membutuhkan jalur rahasia yang mampu menembus hutan dan pegunungan tanpa diketahui musuh.
“Sebelum ayam berkokok dan fajar datang, bengawan harus sudah terbentang!” titah sang raja dengan suara menggelegar.
“Sendiko dawuh, Gusti!” jawab Rakryan Mahapatih Singoduto, panglima perang yang menjadi kebanggaan kerajaan.
Singoduto diperintahkan untuk memimpin pasukan elit membangun Bengawan Silugangga, sungai besar yang akan menjadi jalur rahasia dari Gunung Renteng menuju Widas, batas negeri Ngatas Angin. Sebagai alatnya, ia membawa sebuah kapal besar nan sakti yang konon diciptakan dengan kesaktian para empu kerajaan. Kapal itu dinamai Kapal Setan, bukan karena jahat, melainkan karena hanya makhluk sakti yang dapat mengendalikannya.
Malam itu, di bawah langit tanpa bulan, Singoduto dan pasukannya berangkat. Ratusan prajurit dengan pakaian hitam dan mata menyala semangat menyusuri hutan, mengarungi telaga, dan mengerahkan kesaktian mereka untuk membuka jalur air dari utara ke selatan. Tanah bergetar setiap kali kapal itu bergerak, pepohonan tumbang, dan air mengalir deras membentuk bengawan baru. Dalam waktu singkat, Bengawan Silugangga mulai terbentang dari pegunungan hingga mendekati perkampungan manusia.
Namun, di tengah malam itu, di sebuah desa kecil bernama Jatisari, seorang gadis bernama Roro Nilasari terjaga dari tidurnya. Hatinya gelisah tanpa sebab. “Mengapa malam ini rasanya aneh? Seperti ada sesuatu yang sedang terjadi di luar sana,” gumamnya pelan. Karena tak bisa tidur lagi, ia berjalan ke dapur, berniat menanak nasi untuk ibunya agar sang simbok bisa beristirahat lebih lama.
Di dapur sederhana itu, Roro Nilasari mengambil wakul, yaitu wadah anyaman bambu tempat orang Jawa mencuci beras. Ia menakar beras, mencucinya dengan hati-hati, lalu menyalakan api di tungku. Saat mencuci beras, seperti kebiasaan orang Jawa kuno, ia memukulkan wakul ke meja dapur agar sisa beras terlepas dari seratnya. Bunyi pukulan itu menggema lembut di malam sunyi.
Tiba-tiba, seekor ayam di kandang dekat dapur terbangun karena suara tersebut. Sayapnya mengepak, lalu berkokok nyaring memecah keheningan malam. Kokok itu disambut oleh ayam-ayam lain di seantero desa, bersahut-sahutan seperti orkestra alam yang membangunkan fajar sebelum waktunya.
Namun, suara ayam itu ternyata membawa malapetaka bagi pasukan Singoduto. Dalam sekejap, Bengawan Silugangga berhenti mengalir. Kapal besar itu terhenti di tengah jalur, dan satu per satu prajurit terjatuh, lenyap ditelan bumi. Alam seperti menolak campur tangan manusia yang hendak mengubahnya tanpa izin.
Dengan amarah meluap, Singoduto berteriak lantang, “Yoh kowe, perawan Jatisari! Titenono sabdoku! Siro ora bakal payu rabi nganti tuwek!”
Artinya, “Wahai gadis desa Jatisari, dengarlah kutukanku! Tak akan ada pria yang mau mempersuntingmu hingga engkau menua!”
Setelah mengucap kutukan itu, Singoduto dan pasukannya menghilang dalam sekejap, bersama kapalnya yang karam di perut bumi. Bengawan Silugangga pun gagal terbentuk sempurna, menyisakan aliran air yang kemudian dikenal masyarakat sebagai Sungai Ngangkatan. Di seberang utara sungai itu, terdapat gumuk kecil (bukit) yang dipercaya sebagai tempat kapal Singoduto tenggelam. Hingga kini, warga sekitar menyebutnya “Gumuk Kapal”, simbol dari ambisi manusia yang dihentikan oleh kehendak alam.
Sementara itu, Roro Nilasari hidup lama di desanya. Meskipun mendapat kutukan, ia dikenal sebagai perempuan bijak yang rajin bekerja dan suka berbagi makanan dengan sesama. Ia mengajarkan pada warga cara menanak nasi dengan benar menggunakan wakul, mencuci beras hingga bersih, dan menjaga api tungku agar tidak terlalu besar agar nasi tanak sempurna. Ayam dan wakul pun menjadi bagian penting dalam kisah ini, bukan sekadar alat dan hewan, melainkan simbol keterikatan manusia dengan pangan, waktu, dan keseimbangan alam.
Sejak saat itu, masyarakat sekitar Sungai Ngangkatan menghormati ayam dan wakul sebagai lambang kehidupan. Ayam melambangkan penanda waktu, sementara wakul melambangkan kesabaran dan keuletan dalam mengolah pangan. Setiap kali menanak nasi, orang-orang Jatisari percaya bahwa pekerjaan itu bukan hanya urusan dapur, melainkan bentuk penghormatan kepada alam yang memberi sumber kehidupan.
Kini, Sungai Ngangkatan menjadi bagian dari sejarah lokal yang hidup dalam cerita rakyat. Airnya mengalir tenang di antara ladang dan sawah, memberi kehidupan bagi warga sekitar. Dari kisah ini, kita belajar bahwa pangan, waktu, dan alam memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Suara ayam yang membangunkan pagi, nasi yang ditanak dengan sabar, dan air sungai yang mengalir lembut adalah bagian dari harmoni yang mesti dijaga.
Legenda ini mengingatkan kita bahwa kearifan lokal bukan hanya cerita masa lalu, tetapi juga petunjuk bagi masa depan. Bahwa manusia harus menghormati alam, mengolah pangan dengan hati, dan menyadari bahwa setiap suara, setiap tetes air, serta setiap butir beras adalah bagian dari kehidupan yang suci dan tak boleh disia-siakan.