
Pada masa silam, ketika tanah Lamongan masih dipenuhi hutan bambu dan rawa yang sunyi, hiduplah seorang kesatria gagah bernama Suro Jenggolo. Ia terkenal karena keberaniannya dan karena penampilan yang khas. Setiap kali melintasi desa, orang-orang mudah mengenalinya dari topi besar yang selalu ia kenakan, berbentuk seperti lumpang kenteng, serta kuda putih yang setia menemaninya ke mana pun ia pergi.
Suatu hari, dalam pengembaraannya melintasi wilayah yang masih berupa hutan lebat, Suro Jenggolo berhenti di sebuah tempat yang indah. Hutan itu dipenuhi pohon bambu yang menjulang tinggi, batangnya bergemerisik ditiup angin, dan di sela-sela rumpun bambu itu tumbuh rebung muda yang segar. Ia merasakan kedamaian di tempat itu, seolah alam berbicara kepadanya untuk berhenti berkelana. Ia pun memutuskan untuk menetap di sana dan menjadikan kawasan itu sebagai pemukiman baru bagi rakyat yang mencari perlindungan.
Dengan kerja keras, Suro Jenggolo bersama para pengikutnya mulai menebas semak, membuka ladang, dan membangun rumah-rumah sederhana dari batang bambu. Rebung yang tumbuh di kaki hutan menjadi sumber makanan mereka. Setiap pagi, para perempuan memetik rebung muda untuk dijadikan sayur, sementara para lelaki menebang batang bambu untuk membuat pagar, tiang rumah, dan alat sehari-hari. Dari alam mereka hidup, dan kepada alam pula mereka berterima kasih.
Kehidupan damai itu berlangsung lama, hingga suatu hari datanglah pasukan penjajah Belanda yang ingin menguasai tanah mereka. Suro Jenggolo tidak tinggal diam. Ia mengangkat pedangnya dan memimpin rakyat melawan penjajahan. Pertempuran besar pun terjadi. Suara senapan dan teriakan perang menggema di antara pohon-pohon bambu yang bergoyang tertiup angin. Namun kekuatan rakyat kalah oleh senjata para penjajah yang lebih lengkap.
Dalam kekacauan itu, Suro Jenggolo berusaha melarikan diri untuk menyusun perlawanan kembali. Ia menunggang kuda putihnya, berlari kencang melewati hutan bambu dan lembah yang dalam. Akhirnya ia tiba di sebuah kedung, sebuah kolam besar alami yang dikelilingi rumpun bambu rapat. Di tepi tebing, ia melepas topinya yang selama ini menjadi tanda kehebatannya, lalu menatap air yang berputar tenang di bawah sana.
Ketika pasukan Belanda tiba, mereka hanya menemukan topi itu di tepi kedung. Tidak ada jejak kaki, tidak ada tanda ke mana sang kesatria pergi. Mereka menunggu berhari-hari di tepi air, berharap ia muncul kembali, tetapi Suro Jenggolo tidak pernah terlihat. Orang-orang percaya ia telah melompat ke dalam kedung bersama kuda putihnya.
Namun kebenarannya, Suro Jenggolo belum mati. Ia bersembunyi di tempat lain untuk menyelamatkan diri dan menyiapkan rencana balasan. Setelah beberapa waktu, ia kembali ke desanya dengan tekad membebaskan rakyat dari penjajahan. Sayangnya, kabar tentang kembalinya sang kesatria terdengar sampai ke telinga Belanda. Mereka segera mengepungnya di hutan bambu yang sama. Kali ini, ketika pengepungan tak bisa dielakkan, Suro Jenggolo benar-benar melompat ke dalam kedung itu.
Para prajurit Belanda menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana tubuh Suro Jenggolo dan kuda putihnya menghilang ke dalam air yang berputar. Tidak ada yang berani mendekat. Air di kedung itu mendadak berubah tenang, seolah menelan rahasia besar dan menyimpannya selamanya.
Berita tentang peristiwa itu menyebar ke seluruh desa. Orang-orang berduka sekaligus kagum. Mereka percaya, kedung itu kini menjadi tempat suci tempat roh Suro Jenggolo bersemayam, menjaga rakyatnya dari kejauhan. Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat menamai desa itu dengan nama Kedungpring. Kata “kedung” berarti kolam atau sumber air yang dalam, dan “pring” dalam bahasa Jawa berarti bambu, tanaman yang tumbuh subur di sekeliling tempat itu.
Sejak saat itu, Desa Kedungpring dikenal sebagai desa yang subur. Pohon-pohon bambu tumbuh di setiap sudut, memberi kehidupan bagi penduduknya. Rebung dari bambu muda menjadi makanan sehari-hari, diolah menjadi sayur bening, tumisan, atau lalapan sederhana yang selalu tersaji di meja makan. Bagi warga Kedungpring, bambu bukan sekadar tanaman, tetapi lambang keteguhan dan kesederhanaan, seperti sosok Suro Jenggolo yang kokoh dan rendah hati.
Hingga kini, setiap kali angin berdesir di antara rumpun bambu, masyarakat percaya bahwa itu adalah tanda kehadiran roh Suro Jenggolo yang sedang berkeliling, memastikan desanya tetap aman dan makmur. Dan dari rebung yang terus tumbuh setiap musim hujan, mereka belajar bahwa kehidupan akan selalu berlanjut selama manusia mau menjaga alamnya.