Di sebuah desa di pesisir Madura, terdapat sebuah tempat yang oleh masyarakat setempat disebut Buju’ Tolombung. Tempat ini tidak hanya dikenal karena keindahannya yang alami, tetapi juga karena kisah dan kepercayaan yang menyelimuti setiap tetes airnya. Di antara pepohonan rindang dan tanah yang selalu lembap, terdapat sebuah sumber air kecil yang terus mengalir dari lubang di dalam tanah. Masyarakat percaya, air itu bukanlah air biasa.
Menurut cerita para sesepuh, Buju’ Tolombung dahulu adalah tempat bertapa seorang tokoh sakti yang sangat dihormati. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan alam dan selalu menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungannya. Setelah sang tokoh meninggal dunia, masyarakat setempat membangun buju’, yaitu semacam tempat pemakaman atau petilasan untuk mengenang jasanya. Sejak saat itu, tempat ini dianggap keramat dan dijaga dengan penuh hormat.
Namun yang paling istimewa dari Buju’ Tolombung adalah airnya. Masyarakat percaya bahwa air dari sumber ini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, baik jasmani maupun rohani. Banyak orang datang dari desa-desa sekitar untuk mengambil air dari sumber tersebut. Sebagian membawa botol atau kendi, sebagian lainnya langsung membasuh wajah dan tangan mereka di dekat lubang air, berharap mendapatkan berkah dan kesembuhan.
Cerita lain menyebutkan, jika seseorang datang dengan hati yang tulus dan niat yang baik, maka ia akan melihat gelembung-gelembung air muncul dari lubang di sumber tersebut. Gelembung itu dipercaya sebagai pertanda bahwa keinginannya akan dikabulkan. Sebaliknya, jika seseorang datang dengan niat buruk atau hati yang kotor, maka air akan terlihat tenang tanpa gelembung sedikit pun. Kepercayaan ini terus diwariskan turun-temurun, menjadi bagian dari tradisi spiritual masyarakat sekitar.
Namun, di balik segala keajaiban dan keindahan Buju’ Tolombung, tersimpan pula sebuah kisah larangan yang sampai kini masih dijaga dengan ketat. Konon, dahulu pernah ada seorang perempuan yang naik ke bagian atas sumber air untuk mengambil air sendiri. Saat itu, masyarakat belum mengetahui pantangan tersebut. Tidak lama setelah kejadian itu, sumber air yang dahulu besar dan jernih tiba-tiba menyusut dan alirannya menjadi kecil.
Para sesepuh desa kemudian meyakini bahwa peristiwa itu terjadi karena adanya pelanggaran terhadap aturan tak tertulis yang berlaku di tempat keramat itu. Sejak saat itu, muncul larangan bagi perempuan untuk naik ke atas dan mengambil air secara langsung. Hanya kaum laki-laki yang diperbolehkan melakukannya, sedangkan perempuan tetap boleh datang untuk berdoa atau memohon berkah dari bawah, tanpa menyentuh sumber air secara langsung.
Bagi sebagian orang modern, kepercayaan ini mungkin terdengar mistis atau tidak masuk akal. Namun bagi masyarakat setempat, kisah Buju’ Tolombung bukan sekadar legenda, melainkan bagian dari kearifan lokal yang mengajarkan rasa hormat terhadap alam dan nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menjadi tempat berziarah dan memanjatkan doa, air dari Buju’ Tolombung juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sekitar. Mereka menggunakan air tersebut untuk minum, memasak, dan mengolah hasil tangkapan laut. Air yang dianggap suci ini menjadi penopang utama dalam sistem pangan lokal, terutama bagi keluarga nelayan yang menggantungkan hidup pada laut.
Air Buju’ Tolombung menjadi simbol kesucian sekaligus kehidupan. Ia mengingatkan manusia bahwa alam memiliki kekuatan yang harus dijaga, dihormati, dan tidak disalahgunakan. Dalam setiap tetes airnya, tersimpan pesan leluhur tentang keseimbangan, kesabaran, dan rasa syukur atas karunia Sang Pencipta.
Kini, meskipun zaman terus berubah, kepercayaan terhadap Buju’ Tolombung tetap lestari. Setiap tahun, masyarakat masih datang untuk membersihkan sumber air, mengadakan doa bersama, dan membawa pulang sebagian airnya untuk disimpan di rumah. Mereka percaya, selama air itu terus mengalir, kehidupan dan keberkahan akan selalu mengiringi Desa Tolombung.