Pada masa dahulu, ketika tanah Madura masih diselimuti kabut tipis dan pepohonan rimbun menghijau, hiduplah seorang tokoh alim yang dikenal bijaksana dan rendah hati bernama Kiai Haji Abd Mufid. Beliau dikenal masyarakat sebagai sosok yang tekun beribadah dan sering mengasingkan diri untuk bertafakur. Suatu hari, beliau memutuskan untuk bertapa di sebuah gua sunyi, jauh dari hiruk-pikuk manusia. Di tempat itu, Kiai Abd Mufid berdiam diri berhari-hari tanpa makan dan minum, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut dan gemerisik daun di luar gua.
Dalam kesunyian itu, ketika malam turun dan hanya suara jangkrik yang menemani, Kiai Abd Mufid mendengar bisikan halus di telinganya. Bisikan itu datang seolah dari alam gaib, membawa pesan tentang sebuah sumber air suci yang akan muncul secara alamiah. Air itu, kata suara tersebut, akan menjadi penolong bagi masyarakat yang kelak kesulitan mendapatkan air bersih di musim kemarau.
Mendengar pesan tersebut, Kiai Abd Mufid tertegun. Beliau merenung lama, lalu merasa terpanggil untuk mencari tempat yang dimaksud dalam bisikan itu. Maka dimulailah perjalanan panjangnya menembus bukit dan lembah, melewati sawah, hutan, dan ladang, hingga akhirnya beliau tiba di sebuah kampung yang terasa sangat damai dan suci. Warga sekitar jarang datang ke tempat itu karena dianggap keramat, penuh aura yang menenangkan.
Di tempat itulah Kiai Abd Mufid merasakan getaran keyakinan yang kuat. Ia mengambil sebatang bambu kecil, memotongnya dengan hati-hati, dan menancapkannya perlahan ke tanah. Saat ujung bambu itu menyentuh bumi, keajaiban pun terjadi. Dari lubang bambu tersebut memancar air jernih yang mengalir tanpa henti. Semakin lama, aliran air itu semakin besar, membentuk pancuran kecil yang menyejukkan pandangan.
Kiai Abd Mufid menunduk, mengambil air itu dengan kedua tangannya, lalu membasuh wajah dan berwudhu. Airnya terasa segar, lembut di kulit, dan menenangkan hati. Beliau sadar bahwa inilah sumber kehidupan yang dijanjikan dalam bisikan gaib itu.
Melihat air yang terus mengalir, Kiai Abd Mufid segera memanggil warga sekitar dan mengajak mereka untuk membangun bendungan sederhana agar air itu bisa ditampung dan dimanfaatkan oleh seluruh penduduk. Ia menamakan bendungan itu “kolla”, sebagai simbol tempat penampungan berkah bagi semua orang. Air dari kolla digunakan untuk memasak, minum, berwudhu, dan mengairi ladang, sehingga warga tidak lagi kesulitan saat musim kemarau datang.
Sejak saat itu, daerah di sekitar sumber air itu disebut Banyuajuh, yang berasal dari kata banyu (air) dan ajuh (mengalir ke bawah). Nama ini melambangkan air berkah yang mengalir terus tanpa henti, sebagaimana ketulusan Kiai Abd Mufid dalam membantu sesama.
Kini, masyarakat Banyuajuh hidup makmur dengan tanah yang subur dan air yang melimpah. Sumber air peninggalan Kiai Abd Mufid masih dijaga dengan baik, menjadi sumber pangan dan kehidupan bagi generasi yang datang kemudian. Di setiap tetes air yang mengalir dari kolla itu, tersimpan pesan tentang keikhlasan, kebersamaan, dan pentingnya menjaga alam sebagai sumber rezeki yang tak ternilai.