Pada masa silam, di sebuah daerah yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Bangkalan, hidup seekor kuda gagah yang menjadi sahabat setia seorang pengembara. Suatu hari, sang pengembara bersama kudanya melewati daerah yang gersang dan tandus. Terik matahari membakar bumi, dan debu beterbangan di sepanjang jalan yang mereka lalui. Di tengah perjalanan itu, rasa haus mulai menyiksa. Dengan langkah gontai, sang pengembara meminum sedikit air yang tersisa dalam kendi, kemudian menawarkannya kepada kudanya. Sang kuda pun meminum air tersebut hingga habis.
Namun, setelah meminum air itu, sang kuda tampak gelisah. Ia meringkik pelan, lalu berjalan menjauh, seolah sedang mencari sesuatu. Dengan naluri hewan yang tajam, kuda itu mulai mengais tanah dengan kakinya di sebuah tempat yang sunyi. Suara kikisan kuku kuda yang menyentuh tanah terdengar berulang kali, kar… kar… kar…, hingga membentuk lubang cukup dalam, kira-kira satu meter.
Sang pengembara memperhatikan dengan penuh harap, berharap dari lubang itu akan keluar setetes air untuk menghilangkan dahaga mereka. Namun, tanah tetap kering. Tidak ada setetes pun air yang muncul.
Kuda itu kemudian berjalan lagi ke tempat lain, menggali tanah untuk kedua kalinya, lalu ketiga kalinya. Setiap kali mengais tanah, ia mengeluarkan suara yang sama, seolah tengah berbicara pada bumi. Namun, keajaiban yang diharapkan tak juga terjadi. Tiga kali menggali, tiga kali pula ia gagal menemukan sumber air.
Matahari semakin condong ke barat. Sang kuda tampak lelah, napasnya tersengal, bulu tubuhnya basah oleh keringat. Akhirnya, ia berhenti sejenak, memandangi tanah yang telah digalinya. Seolah kecewa, kuda itu mengibaskan ekornya dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan jejak lubang-lubang galian sebagai saksi usahanya mencari sumber kehidupan.
Seiring waktu, masyarakat yang kemudian menetap di daerah tersebut menemukan lubang-lubang yang telah digali oleh kuda itu. Mereka menamai tempat itu sesuai dengan bunyi khas yang ditinggalkan sang kuda ketika mengais tanah, bunyi “kar… kar…” yang melekat dalam ingatan warga. Di situlah mereka mulai memahami makna dari cerita lama ini: bahwa air adalah berkah yang tidak selalu mudah ditemukan, dan setiap usaha manusia atau makhluk hidup untuk mencarinya adalah bentuk perjuangan untuk mempertahankan kehidupan.
Hingga kini, masyarakat di daerah itu masih mengingat kisah kuda yang mencari air. Mereka menjadikannya pelajaran untuk menjaga sumber air dengan penuh rasa syukur, karena tanpa air, tidak ada kehidupan yang bisa bertahan di bumi.