Pada masa lalu, di tepi laut utara Pulau Madura, hiduplah sekelompok nelayan yang menggantungkan hidup mereka pada hasil laut. Daerah itu masih sepi, hanya dihuni oleh beberapa keluarga yang tinggal di gubuk-gubuk kayu sederhana. Ombak di pantai berdebur lembut, dan angin laut yang berhembus setiap pagi menjadi teman setia bagi para pelaut yang hendak berangkat melaut.
Suatu hari, ketika matahari belum tinggi, seorang tokoh pelaut yang disegani di antara mereka berlayar bersama anak buahnya untuk mencari ikan. Mereka telah berhari-hari menempuh perjalanan di sepanjang garis pantai, berpindah dari satu desa ke desa lain. Persediaan air bersih mereka mulai menipis, sementara di setiap tempat yang mereka singgahi, air yang ditemukan selalu terasa asin. Para pelaut mulai gelisah, karena tanpa air tawar mereka tidak akan mampu bertahan lama di laut.
Mereka berlabuh di banyak tempat, berharap menemukan sumber air yang segar untuk diminum. Namun, ke mana pun mereka pergi, nasibnya sama: air sumur di daerah pesisir terasa payau, asin karena bercampur dengan air laut. Hingga suatu ketika, mereka tiba di sebuah kawasan yang dikelilingi pohon kelapa dan semak belukar. Dengan sisa tenaga yang ada, sang tokoh memerintahkan anak buahnya untuk menggali tanah dan mencari sumber air.
Tak lama kemudian, pancaran air muncul dari dalam tanah. Mereka segera mencicipinya, dan betapa terkejutnya mereka saat air itu terasa tawar dan segar, berbeda dari tempat-tempat lain di sepanjang pesisir. Salah satu awak kapal berseru dengan penuh keheranan, “Air ini benar-benar tidak disangka-sangka rasanya tawar, padahal kita berada di tepi laut!”
Sang tokoh terdiam sejenak, lalu tersenyum. Ia memandang sekeliling dan berkata, “Tempat ini akan kuingat selalu. Karena di sini, kami menemukan kehidupan di tengah keasinan laut.” Dari kejadian itulah, ia menamai tempat itu Banyusangka, yang berasal dari dua kata: banyu berarti air, dan sangka berarti tidak disangka-sangka.
Nama itu menjadi simbol dari keajaiban alam yang tak terduga, sebuah anugerah bagi para pelaut dan penduduk pesisir. Di daerah yang seharusnya hanya memiliki air asin, ternyata tersimpan sumber air tawar yang menyegarkan. Sejak saat itu, kawasan tersebut dikenal dengan nama Desa Banyusangka.
Waktu berlalu, dan kehidupan di desa itu semakin ramai. Penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Mereka hidup berdampingan dengan laut, memanfaatkan hasil tangkapan ikan, cumi, dan udang untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Air tawar dari Banyusangka menjadi penopang utama kehidupan mereka. Selain untuk diminum, air itu digunakan untuk memasak hasil laut dan membersihkan jaring serta peralatan melaut.
Karena letaknya yang sangat dekat dengan pantai, masyarakat Banyusangka sering disebut sebagai orang Majengan, yang berarti masyarakat pesisir atau nelayan. Mereka dikenal giat, pantang menyerah, dan hidup dalam semangat gotong royong. Air tawar yang dulu ditemukan secara tak terduga itu kini menjadi pusat kehidupan desa, simbol kesejahteraan sekaligus pengingat bahwa rezeki bisa datang dari arah yang tidak pernah disangka.
Kini, Desa Banyusangka yang terletak di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, menjadi salah satu desa pesisir yang memiliki nilai sejarah dan kearifan lokal kuat. Dari sumber air yang sederhana, lahirlah peradaban kecil yang hidup harmonis antara laut dan daratan, antara manusia dan alamnya.
Legenda Banyusangka bukan sekadar kisah asal-usul nama, melainkan juga ajaran tentang pentingnya air sebagai sumber pangan dan kehidupan, serta rasa syukur atas karunia alam yang tak ternilai.