Pada masa lalu, di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Petapan di Kecamatan Labang, Bangkalan, tersimpan sebuah kisah yang penuh makna spiritual dan keajaiban alam. Konon, pada suatu hari, datanglah seorang tokoh penyebar agama Islam bernama Sunan Putro Manggolo, putra dari Kyai Zainal Abidin Cendana dari daerah Kwanyar. Dalam perjalanan dakwahnya, beliau singgah di sebuah tempat yang masih sepi dan belum banyak dikenal orang. Di sanalah, Sunan Putro Manggolo memutuskan untuk berdiam diri dan bertapa, memohon petunjuk dari Allah agar dakwahnya membawa manfaat bagi masyarakat sekitar.
Selama bertapa, beliau membawa serta tongkatnya, sebuah tongkat yang diyakini memiliki makna spiritual mendalam. Ketika waktu bertapanya usai, dengan penuh rasa syukur, Sunan mencabut tongkat tersebut dari tanah. Namun, begitu tongkat itu terangkat, terjadilah sesuatu yang ajaib. Dari lubang bekas tongkat itu, tiba-tiba muncul pancaran air yang jernih. Air itu terus mengalir deras hingga membentuk genangan. Sunan Putro Manggolo tertegun sejenak, antara kagum dan bahagia, karena air itu begitu bersih dan segar. Ia menyadari bahwa sumber air tersebut merupakan anugerah Tuhan bagi masyarakat di sekitarnya.
Namun, kebahagiaan itu bercampur kegelisahan. Air yang semula mengalir dengan tenang kini semakin deras, seolah tidak akan berhenti. Kekhawatiran pun muncul dalam hati Sunan, sebab jika dibiarkan, air itu bisa meluap dan membanjiri dusun. Maka dengan kebijaksanaan dan ketenangan, beliau mencari cara untuk menghentikan aliran air tersebut agar tidak membahayakan penduduk.
Sunan kemudian mengambil sebuah bedug, alat tabuh besar yang biasanya digunakan di masjid untuk menandai waktu salat. Dengan penuh keyakinan, beliau menutup lubang sumber air itu menggunakan bedug. Ajaibnya, setelah ditutup, air yang keluar mulai berkurang hingga mengalir dengan tenang dan stabil. Dari sinilah lahir sebuah telaga kecil yang airnya jernih dan tidak pernah surut, bahkan di musim kemarau panjang sekalipun.
Sunan Putro Manggolo kemudian mengajak masyarakat setempat untuk memanfaatkan air itu dengan bijak. Ia mengajarkan mereka cara menjaga sumber air agar tidak tercemar, dan sekaligus memanfaatkan air tersebut untuk berwudu sebelum salat berjemaah. Telaga itu pun menjadi pusat kegiatan warga, tempat mereka mandi, mengambil air untuk memasak, dan menyiram tanaman.
Sejak saat itu, wilayah tersebut dikenal dengan nama Petapan, yang berasal dari kata tapa atau bertapa, merujuk pada peristiwa saat Sunan Putro Manggolo bertapa dan menemukan sumber air tersebut. Hingga kini, masyarakat Desa Petapan masih memegang erat nilai-nilai yang diwariskan dari kisah itu: bahwa air adalah sumber kehidupan yang harus dijaga, dihormati, dan dimanfaatkan untuk kebaikan bersama.