Desa Pocong

URL Cerital Digital: https://mercusuar.co/sejarah-dari-desa-pocong-di-kecamatan-trag

Pada suatu masa yang sudah lama berlalu, di wilayah pesisir Madura, terdapat sebuah hutan kecil yang rindang dan menenangkan. Di tengah hutan itu tumbuh sebuah pohon besar bernama pucang. Pohon ini berdiri tegak dengan daun-daun hijau yang lebat dan batang yang kokoh, seolah menjaga keseimbangan alam di sekitarnya. Penduduk yang melewati hutan itu sering berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon pucang karena teduh dan udaranya yang sejuk.

Namun, bukan hanya keteduhannya yang membuat pohon itu istimewa. Konon, suatu hari, dari akar pohon pucang itu muncullah pancuran air jernih yang mengalir deras ke permukaan tanah. Awalnya hanya berupa tetesan kecil, tetapi lama-kelamaan air itu membentuk aliran kecil yang tidak pernah kering, bahkan ketika musim kemarau datang. Penduduk yang menemukan sumber air itu merasa heran sekaligus gembira, sebab di daerah sekitar hutan tidak ada sumber air lain yang sebersih dan sesegar itu.

Berita tentang munculnya air di bawah pohon pucang segera menyebar ke seluruh penjuru desa. Orang-orang mulai berdatangan, membawa kendi, bambu, atau tempayan untuk mengambil air. Mereka menyebut air itu sebagai “banyu pucang”, air yang berasal dari pohon pucang. Dari situlah masyarakat mulai menamai daerah di sekitar sumber air itu dengan sebutan Pocong, sebuah bentuk pelafalan khas masyarakat setempat dari kata “pucang.”

Air yang muncul dari akar pohon itu menjadi penyelamat bagi warga sekitar. Mereka memanfaatkannya untuk memasak, menanak nasi, menyiapkan lauk dari hasil laut, dan bahkan menyiram tanaman pangan di kebun mereka. Air dari pucang dianggap membawa kesejukan dan keberkahan, seolah menghidupi setiap sendi kehidupan di desa itu.

Selain berfungsi sebagai sumber air bersih, masyarakat juga mempercayai bahwa air dari pohon pucang memiliki makna spiritual. Mereka yakin, siapa pun yang mengambil air dengan niat baik dan hati yang tulus akan mendapatkan rezeki dan keselamatan. Karena itulah, setiap kali panen tiba atau saat musim melaut dimulai, para petani dan nelayan sering datang ke sumber air itu untuk memohon berkah, berharap hasil panen dan tangkapan mereka melimpah.

Masduki, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Pocong, menyebutkan bahwa kisah tentang pohon pucang ini telah menjadi bagian penting dari identitas masyarakat setempat. Pohon yang dulu dianggap sakral kini sudah tiada, namun sumber airnya tetap ada dan terus mengalir, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah desa. Dari sanalah nama Desa Pocong lahir, sebuah nama yang bukan berasal dari hal mistis seperti dugaan sebagian orang, melainkan dari sebuah kisah alam yang melahirkan kehidupan.

Kini, sumber air dari bekas pohon pucang itu tetap dijaga dengan baik oleh warga. Mereka membangun saluran agar airnya bisa mengalir ke rumah-rumah penduduk dan ke sawah di sekitarnya. Setiap tetes air dari sana menjadi pengingat bahwa alam selalu memberi, asalkan manusia tahu cara menghormati dan menjaganya.

Desa Pocong pun terus berkembang menjadi wilayah yang subur. Meski sebagian besar penduduknya kini bekerja di laut dan ladang, mereka masih menyimpan rasa syukur terhadap air yang dahulu memancar dari akar pohon pucang. Air itu bukan sekadar penopang pangan dan kehidupan, melainkan juga simbol kesatuan antara manusia dan alam yang diwariskan turun-temurun.

Maka dari itu, legenda pohon pucang bukan hanya tentang asal-usul nama desa, tetapi juga tentang kesadaran ekologis masyarakat lokal yang memahami pentingnya menjaga sumber daya air bagi ketahanan pangan dan kelangsungan hidup mereka.

Bagikan Cerita Rakyat

Artikel Terbaru

Ingin Berkontribusi?

Mari bersama melestarikan warisan Nusantara melalui cerita, data, dan kolaborasi.