Dahulu kala, hiduplah seorang putri cantik bernama Dewi Sri. Ia adalah putri dari Raja Purwacarita, dan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Raden Sadhana. Namun, keduanya tidak mau tinggal di keraton bersama ayahnya. Karena sikap itu, Raja Purwacarita marah dan mengutuk mereka. Dewi Sri berubah menjadi ular sawah, sedangkan Raden Sadhana menjadi burung sriti.
Sejak saat itu, Dewi Sri dan Raden Sadhana pergi meninggalkan keraton. Dalam pengembaraannya, Dewi Sri yang berwujud ular sawah sampai di sebuah dusun bernama Wasutira, wilayah negeri Wirata. Karena lelah, ia melingkar dan tertidur di tengah-tengah tanaman padi. Penduduk dusun kemudian menempatkannya di petanen, tempat khusus untuk menyimpan padi, agar ia tidak mengganggu siapa pun.
Ular sawah itu ternyata memiliki tugas penting. Ia menjaga bayi dalam kandungan Ken Sanggi, istri dari Kyai Brikhu, seorang tokoh bijak di dusun tersebut. Bayi yang dikandung Ken Sanggi adalah titisan Dewi Tiksnawati. Karena itu, hidup bayi itu terikat dengan hidup sang ular: bila ular sawah mati, maka bayi itu juga akan mati. Menyadari hal ini, Kyai Brikhu merawat ular sawah itu dengan penuh hati-hati.
Beberapa waktu kemudian, Ken Sanggi melahirkan seorang bayi perempuan dengan selamat. Pada suatu malam, ular sawah mendatangi Kyai Brikhu lewat mimpi. Ia berpesan agar tidak diberi makan katak, melainkan sesaji berupa sirih ayu, bunga, dan lampu yang selalu menyala. Kyai Brikhu pun segera menyiapkan semua yang diminta.
Namun, kelahiran bayi titisan Dewi Tiksnawati membuat geger kahyangan. Sebab, Dewi Tiksnawati turun ke dunia tanpa izin dari Sang Hyang Jagadnata, penguasa jagat raya. Murkalah Sang Hyang Jagadnata. Ia memerintahkan para dewa untuk mengirimkan bencana agar bayi itu binasa. Tetapi semua usaha gagal, karena bayi tersebut dilindungi oleh tolak bala yang dilakukan Kyai Brikhu atas petunjuk sang ular sawah.
Akhirnya, Sang Hyang Jagadnata tahu bahwa semua perlindungan itu berasal dari Dewi Sri. Ia pun mengutus para bidadari untuk menjemput Dewi Sri ke kahyangan, agar ia menjadi bidadari yang melengkapi barisan bidadari lainnya. Dewi Sri menerima tawaran itu, tetapi mengajukan satu permintaan: kakaknya, Raden Sadhana, harus diruwat agar kembali menjadi manusia.
Permintaan itu dikabulkan. Raden Sadhana diruwat oleh Begawan Brahmana Marhaesi, putra Sang Hyang Brahma, hingga kembali ke wujud manusia. Ia kemudian dijodohkan dengan seorang putri bernama Dewi Laksmitawahni. Sementara itu, ular sawah yang menjaga bayi diruwat oleh para bidadari dan kembali ke wujud aslinya: Dewi Sri yang cantik jelita.
Kyai Brikhu yang sedang membersihkan petanen terkejut ketika mendapati ular sawah itu telah berubah menjadi seorang wanita anggun. Saat itu ia sadar bahwa yang selama ini dijaganya adalah Dewi Sri, putri Raja Purwacarita. Sebelum pergi meninggalkan keluarga Kyai Brikhu, Dewi Sri berpesan: selalu letakkan sesaji di depan petanen atau di kamar tengah rumah, agar sandang pangan tidak pernah kekurangan. Setelah berpesan, Dewi Sri moksa, kembali ke alamnya.
Sejak saat itu, orang Jawa percaya bahwa senthong tengah (kamar tengah rumah) adalah tempat suci yang melambangkan Dewi Sri. Mereka memberi sesaji dan menggantungkan gambar ular sebagai lambang kesuburan dan kewanitaan. Para petani pun percaya, jika ular sawah masuk ke rumah, itu pertanda baik—hasil panen akan melimpah. Karena itu, ular sawah tidak pernah diganggu, melainkan dihormati sebagai lambang kemakmuran.