Dusun Binajuh

URL Cerital Digital: https://repositori.kemendikdasmen.go.id/23870/1/MORTEKA%20DARI%20MADHURA.pdf

Pada masa lampau, di sebuah daerah yang dikelilingi perbukitan hijau dan hutan kecil, hiduplah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam. Mereka hidup rukun dan sederhana, sebagian besar bekerja di ladang, menanam padi, sayur, serta memelihara ternak. Namun, kehidupan mereka sangat bergantung pada satu hal yang menjadi sumber segala kemakmuran, yaitu air.

Suatu hari, ketika musim kemarau melanda cukup panjang, rakyat desa mulai kesulitan mendapatkan air. Sungai-sungai mengering, dan embung-embung yang biasanya penuh perlahan surut. Dalam kegelisahan itu, Sang Raja yang dikenal arif dan bijaksana memutuskan untuk melakukan perjalanan ke daerah tersebut. Ia ingin melihat langsung keadaan rakyatnya.

Ketika rombongan kerajaan melintasi hutan, mereka tiba di sebuah lembah kecil yang begitu sejuk dan menenangkan. Di sana, air bening memancar dari celah batu, mengalir pelan ke sebuah kolam kecil di bawahnya. Air itu begitu jernih hingga dasar kolam tampak jelas. Bahkan, ikan-ikan kecil yang berenang di dalamnya seperti menari mengikuti arus.

Sang Raja berhenti dan menatap sumber air itu dengan takjub. Di bawah sinar matahari sore, pancaran air tersebut berkilauan seperti kristal. Angin berhembus lembut membawa kesejukan, membuat siapa pun yang berada di sana merasa damai. Melihat keindahan itu, Raja tersenyum dan berkata kepada para pengiringnya, “Tempat ini sungguh menakjubkan. Airnya tidak hanya segar, tetapi juga menenangkan hati. Rasanya seperti melihat bidadari yang turun dari kahyangan.”

Karena terpesona, Raja kemudian memutuskan untuk memberi nama tempat itu Banyu Ayu. Dalam bahasa Jawa, banyu berarti air dan ayu berarti cantik. Nama itu menjadi simbol keindahan sekaligus berkah yang diberikan alam kepada rakyatnya. Pengumuman nama daerah tersebut disambut dengan tepuk tangan riuh dari penduduk yang hadir. Mereka bersyukur karena tempat mereka kini diakui oleh sang Raja.

Namun, setelah kegembiraan mereda, seorang warga desa mengangkat tangan dan bertanya dengan ragu, “Wahai Baginda, nama yang Paduka berikan sungguh indah, tetapi kami tidak begitu memahami bahasa Jawa. Apa arti Banyu Ayu itu?”

Raja tersenyum lembut, lalu menjelaskan bahwa nama itu dipilih karena mata air yang mereka miliki begitu cantik, menenangkan, dan membawa kehidupan bagi siapa pun yang meminumnya. “Air ini adalah karunia,” ujar sang Raja. “Ia tidak hanya menghapus dahaga, tetapi juga menumbuhkan kehidupan. Karena itulah tempat ini pantas disebut Banyu Ayu.”

Sejak hari itu, masyarakat pun mengenal daerah tersebut sebagai Desa Banyu Ayu. Warga menjadikan sumber air itu pusat kehidupan. Mereka memanfaatkannya untuk mengairi sawah, menanam berbagai jenis tanaman pangan seperti padi, jagung, dan sayur-mayur. Air dari mata air itu dipercaya membawa kesuburan bagi tanah mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, bahasa di kalangan masyarakat Madura mulai memengaruhi cara pengucapan nama tersebut. Lambat laun, nama Banyu Ayu berubah menjadi Bin Ajuh atau Binajuh, menyesuaikan lidah penuturnya. Meski demikian, maknanya tetap sama, yakni “air yang indah dan memberi kehidupan.”

Kini, Dusun Binajuh yang berada di wilayah Desa Lajing menjadi saksi sejarah bagaimana sebuah sumber air membentuk peradaban kecil yang subur dan damai. Dari mata air yang menenangkan itu, masyarakat belajar bahwa pangan dan air adalah dua hal yang tak terpisahkan, karena tanpa air, tiada kehidupan, tiada panen, dan tiada masa depan.

Legenda Banyu Ayu bukan hanya kisah tentang asal-usul nama sebuah tempat, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga sumber air sebagai bagian dari warisan alam yang memberi kehidupan bagi generasi berikutnya.

Bagikan Cerita Rakyat

Artikel Terbaru

Ingin Berkontribusi?

Mari bersama melestarikan warisan Nusantara melalui cerita, data, dan kolaborasi.