Mbah Sumo

URL Cerital Digital: https://repository.stkippgritrenggalek.ac.id/file/download/204?__cf_chl_tk=QImRyExCMhOHL5R2IgTf1gW59igNHBjbl5B6Caoo0XE-1754555268-1.0.1.1-FDY3MhRFOTxUnMI8U3v9cra1oe7MnIkWAdR5DqLQz_E

Pada masa ketika hutan-hutan di Blitar masih lebat dan penuh misteri, hidup seorang lelaki tua yang dikenal dengan nama Mbah Sumo. Ia bukan orang biasa. Meski usianya sudah lanjut, semangatnya untuk berbuat baik bagi sesama tak pernah padam. Dalam kesehariannya, Mbah Sumo dikenal sebagai seorang pertapa dan pengajar yang ingin membuka jalan bagi masyarakat agar dapat hidup tenteram dan sejahtera.

Suatu pagi, di tengah kabut yang masih menggantung di antara pepohonan tinggi, Mbah Sumo memutuskan untuk berkelana ke arah barat daya. Ia mendengar bahwa di sana terdapat hutan yang luas namun belum tersentuh manusia. Hutan itu dikelilingi suara lebah yang berdengung dan aroma madu hutan yang semerbak. Konon, di balik kesuburan hutan itu, tersembunyi kekuatan gaib yang dijaga oleh makhluk halus yang tak ingin diganggu. Namun, bagi Mbah Sumo, keindahan dan potensi alam itu lebih besar daripada rasa takut.

Dengan membawa niat suci, ia menancapkan tongkatnya di tanah dan mulai membabat semak belukar. Setiap tebasan parang mengeluarkan suara berat, bergema di antara pepohonan. Matahari mulai naik, dan peluh membasahi wajahnya. Namun semakin dalam ia masuk ke hutan, suasana berubah. Angin berhenti bertiup, suara burung lenyap, dan udara terasa berat. Tiba-tiba terdengar suara tawa bergema dari arah yang tidak jelas, diikuti desiran bayangan yang bergerak cepat di antara batang pohon.

Dari kegelapan muncul kawanan jin, makhluk penjaga hutan itu. Mereka marah karena wilayahnya diganggu. Mata mereka merah menyala, dan suara mereka bergemuruh seperti badai. Dengan langkah tegap namun hati-hati, Mbah Sumo menatap mereka dan berkata dengan suara lantang, “Aku datang bukan untuk merusak, tetapi untuk membawa kebaikan bagi manusia. Hutan ini kaya, penuh madu dan kehidupan. Biarlah manusia belajar merawatnya tanpa merusak alam.”

Namun jin-jin itu tidak mendengarkan. Mereka menyerang, menghempaskan angin kuat hingga ranting-ranting patah. Mbah Sumo berusaha melawan dengan doa dan kekuatan batinnya, tetapi tubuhnya sudah renta. Serangannya mulai melemah, dan tenaga mulai surut.

Saat keadaan semakin genting, datanglah seorang perempuan tangguh bernama Sukowati. Ia adalah penjaga wilayah itu juga, manusia yang sudah lebih dulu hidup di sekitar hutan dan pernah berhadapan dengan jin yang sama. Mendengar kabar bahwa seorang tua berani menantang kekuatan gaib di hutan itu, Sukowati bergegas datang.

Dengan semangat dan keberanian, Sukowati berdiri di samping Mbah Sumo. Mereka berdua bersatu melawan kawanan jin. Mbah Sumo membaca doa dengan khusyuk, sementara Sukowati mengayunkan tongkatnya yang terbuat dari kayu jati tua. Suara mereka berpadu dengan gemuruh angin dan gemerisik dedaunan. Hingga akhirnya, cahaya terang muncul dari arah timur, membuat para jin ketakutan dan lenyap kembali ke dalam kegelapan hutan.

Ketika suasana kembali tenang, Mbah Sumo tersenyum pada Sukowati. “Terima kasih, anakku,” katanya dengan lembut. “Tanpa pertolonganmu, mungkin aku tak akan bisa menyelesaikan niat ini.” Sukowati membalas dengan hormat, “Kebaikanmu, Mbah, adalah cahaya bagi tempat ini. Biarlah hutan ini menjadi sumber kehidupan, bukan ketakutan.”

Dengan semangat baru, Mbah Sumo melanjutkan pekerjaannya. Ia mendirikan sebuah padepokan di tengah hutan itu, tempat para warga belajar bertani, berdoa, dan hidup berdampingan dengan alam. Di sekitar padepokan, mereka mulai memanfaatkan hasil hutan seperti madu liar yang melimpah. Madu hutan itu bukan hanya digunakan sebagai bahan pangan, tetapi juga sebagai obat alami untuk menyembuhkan luka dan menjaga kesehatan.

Masyarakat belajar untuk tidak serakah. Mereka hanya mengambil madu secukupnya, membiarkan lebah tetap hidup agar hutan tetap lestari. Di tangan Mbah Sumo, hasil hutan menjadi sumber pangan yang membawa kesejahteraan tanpa merusak keseimbangan alam.

Waktu berlalu, padepokan itu menjadi pusat kehidupan baru. Warga dari berbagai daerah datang untuk belajar cara bercocok tanam, berternak, dan mengelola alam dengan bijak. Di setiap pagi yang cerah, suara lebah yang berdengung dan aroma madu menjadi tanda bahwa kehidupan di tempat itu terus berlanjut.

Kini, masyarakat sekitar masih mengenang nama Mbah Sumo. Bukan hanya sebagai pendiri padepokan, tetapi sebagai sosok bijak yang mengajarkan arti sejati dari keseimbangan antara manusia dan alam. Dari hutan yang dulu angker dan penuh misteri, kini lahir sumber pangan alami yang menyehatkan dan menghidupi banyak orang.

Bagikan Cerita Rakyat

Artikel Terbaru

Ingin Berkontribusi?

Mari bersama melestarikan warisan Nusantara melalui cerita, data, dan kolaborasi.