Di tepian barat Pulau Madura, tepatnya di daerah Kamal, berdiri sebuah desa yang dikenal dengan nama Paseraman. Di masa lampau, wilayah ini gersang dan sulit air. Tanahnya kering, retak-retak, dan tanaman pangan sulit tumbuh. Penduduk hidup dari bertani dan beternak, namun hasilnya selalu sedikit karena kekurangan air. Rakyat sering berdoa agar Tuhan menurunkan hujan dan memberi sumber kehidupan bagi desa mereka.
Di tengah desa itu tinggal seorang tokoh tua yang dikenal bijaksana, bernama Kiai Paseraman. Ia hidup sederhana dan sangat disegani oleh penduduk karena ilmunya yang luas serta kasih sayangnya terhadap rakyat kecil. Setiap pagi, Kiai Paseraman berjalan menyusuri ladang kering sambil membawa kendi tanah liat berisi air sedikit. Air itu dipakainya untuk menyiram benih padi yang baru ditanam oleh warga, sebagai simbol doa agar tanaman mereka tumbuh subur.
Suatu hari, musim kemarau datang lebih panjang dari biasanya. Embusan angin panas membakar dedaunan, sungai mengering, dan sawah menjadi tanah gersang. Rakyat mulai putus asa. Mereka datang ke rumah Kiai Paseraman memohon pertolongan. Dengan tenang, Kiai berkata, “Selama manusia menjaga niat baik dan tidak sombong terhadap alam, Tuhan akan memberi kehidupan melalui air yang suci.”
Keesokan harinya, Kiai Paseraman berjalan menuju bukit kecil di pinggir desa. Di sana, ia berhenti dan mulai berdoa dengan khusyuk. Ia menancapkan tongkat kayu di tanah, lalu memohon agar tanah itu memunculkan sumber air bagi rakyatnya. Tak lama kemudian, dari tempat tongkat itu tertancap, keluarlah pancuran air jernih. Mula-mula hanya menetes, lalu mengalir deras hingga membentuk mata air yang besar. Rakyat bersorak gembira, mereka menampung air itu dalam tempayan dan mengalirkannya ke sawah-sawah.
Dengan adanya sumber air itu, tanah yang sebelumnya kering berubah menjadi subur. Padi tumbuh hijau dan lebat, ladang-ladang kembali hidup, dan sungai kecil terbentuk dari aliran air tersebut. Air itu tak pernah kering bahkan ketika musim kemarau datang lagi. Sebagai bentuk rasa syukur, penduduk desa menamakan sumber tersebut “Sumber Paseraman”, sesuai dengan nama sang kiai yang telah menjadi perantara datangnya berkah.
Sejak saat itu, kehidupan di Desa Paseraman berubah. Pangan kembali melimpah, rakyat hidup makmur, dan air menjadi lambang kesucian serta kesejahteraan. Masyarakat menjaga sumber air tersebut dengan penuh hormat, karena mereka percaya bahwa air bukan hanya unsur alam, tetapi juga titipan Tuhan yang harus dijaga agar tetap memberi manfaat bagi generasi berikutnya.