Di tanah subur Kwanyar, Bangkalan, Madura, hiduplah seorang ulama saleh bernama Sunan Cendana. Beliau dikenal sebagai penyebar ajaran Islam yang lembut dan dekat dengan rakyat kecil. Setiap langkahnya membawa kesejukan, bukan hanya bagi jiwa manusia, tetapi juga bagi alam sekitar.
Sunan Cendana dikenal suka berjalan kaki dari satu kampung ke kampung lain. Dalam setiap perjalanannya, beliau tak hanya berdakwah, tetapi juga mengajarkan cara bercocok tanam dan menghormati bumi. Kepada para petani, ia sering berkata bahwa bekerja menanam adalah ibadah, karena dari tanah itulah lahir kehidupan.
Suatu hari, Sunan Cendana tiba di sebuah daerah yang tanahnya tandus dan sulit ditanami padi. Rakyat hidup pas-pasan, hanya mengandalkan hasil kebun kecil di halaman rumah. Melihat kesulitan itu, Sunan mengajarkan cara menanam umbi-umbian seperti singkong dan talas. “Makanan ini mungkin sederhana,” ucapnya, “tetapi di dalamnya ada berkah yang besar, karena tumbuh di tanah yang keras sekalipun.”
Rakyat Kwanyar pun mengikuti petunjuk beliau. Mereka menanam singkong di ladang-ladang kering dan menjaga tanaman itu dengan sabar. Ajaibnya, beberapa bulan kemudian tanah yang sebelumnya tandus mulai berubah subur. Akar singkong menjalar di dalam tanah, membuatnya gembur, dan hasil panen melimpah.
Sejak saat itu, singkong menjadi pangan utama rakyat setempat. Mereka belajar bahwa kekuatan bukanlah dari kemewahan, melainkan dari ketekunan dan kesabaran. Bahkan setelah Sunan Cendana wafat, rakyat tetap menjaga kebiasaan menanam dan berbagi hasil bumi sebagai bentuk penghormatan kepada beliau.
Di sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Makam Sunan Cendana, masyarakat sering mengadakan selamatan dan berbagi hasil bumi setiap musim panen. Mereka membawa singkong rebus, talas bakar, dan nasi jagung, simbol rasa syukur atas rezeki yang lahir dari bumi. Di sana, doa-doa dipanjatkan agar air tetap mengalir di ladang dan hasil pangan selalu cukup untuk semua.