
Dahulu kala, wilayah yang kini disebut Kampung Made di Surabaya bukanlah kawasan padat seperti sekarang. Tempat itu adalah hutan lebat yang meneduhkan, tempat angin berhembus lembut membawa aroma tanah basah dan getah pepohonan. Di tengah rimba yang sunyi itulah tinggal seorang pertapa tua yang dikenal masyarakat sebagai Mbah Joyo.
Mbah Joyo hidup menyatu dengan alam. Gubuknya berdiri di antara pohon-pohon besar yang akarnya menjalar kuat ke tanah. Ia tidak sendiri, karena memiliki dua sahabat yang setia menemaninya: seekor macan dan seekor singa. Kedua hewan itu bukan binatang buas bagi Mbah Joyo, melainkan penjaga hutan dan sahabat yang memahami bahasa hatinya. Setiap pagi, mereka berjalan menyusuri hutan, memeriksa sungai, dan menatap matahari yang naik perlahan dari balik pepohonan.
Hutan yang dijaga Mbah Joyo bukan sembarang hutan. Dari sanalah mengalir banyak hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. Daun-daun muda digunakan sebagai sayuran, buah-buahan liar menjadi santapan saat musim paceklik, kayu dijadikan bahan bakar, dan akar-akaran diracik menjadi obat alami. Air dari sungai dan mata air di dalam hutan digunakan untuk mengairi sawah di lembah, membantu para petani menanam padi dan menjaga ladang mereka tetap subur.
Bagi warga, hutan adalah sumber kehidupan, tetapi bagi Mbah Joyo, hutan adalah bagian dari jiwanya. Ia sering berkata bahwa manusia boleh memanfaatkan alam, asalkan tidak melampaui batas. “Kalau pohon ditebang tanpa menanam kembali, air akan berhenti mengalir,” katanya suatu hari kepada para pemuda desa. “Kalau hutan hilang, bukan hanya burung dan binatang yang pergi, manusia pun akan kehilangan rumahnya.”
Namun waktu membawa perubahan. Penduduk makin banyak, dan kebutuhan pun meningkat. Hutan yang dahulu dijaga dengan hati-hati mulai ditebangi untuk lahan pertanian dan tempat tinggal. Kayu-kayu besar ditebang, hasil hutan diambil tanpa batas, dan tanah yang dulunya lembap menjadi kering. Alam mulai berubah. Suhu menjadi panas, sungai mengecil, dan banyak hewan pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat keadaan itu, Mbah Joyo merasa sedih. Ia tahu, manusia telah melupakan janji mereka kepada bumi. Maka ia pun pergi ke bagian selatan hutan, tempat yang masih hijau dan tenang. Di sanalah ia mulai bertapa, ditemani singanya yang setia. Sementara macannya menghilang, mungkin pergi mencari hutan lain yang masih perawan. Orang-orang percaya, Mbah Joyo berdoa agar keseimbangan alam dikembalikan, agar manusia menyadari bahwa apa yang mereka makan, minum, dan hirup berasal dari rahim bumi yang sama.
Di tempat Mbah Joyo bertapa itulah kini berdiri Punden Mbah Joyo Singo, sebuah tempat yang dianggap keramat oleh warga Made. Di sana terdapat dua patung: seekor macan dan seekor singa, berdiri berhadapan di bawah naungan pohon besar yang dililit kain Merah-Putih. Warga percaya patung-patung itu melambangkan kembalinya dua sahabat Mbah Joyo—sebuah simbol bahwa alam yang hilang suatu hari akan pulih jika manusia kembali menghormatinya.
Dari punden itu pula, muncul nama “Made”, yang konon berasal dari kata Macan Gede, atau “macan besar”, peliharaan kesayangan Mbah Joyo. Banyak orang salah mengira nama Made berasal dari nama orang Bali, tetapi sesepuh kampung menegaskan bahwa asal-usulnya jauh lebih tua dan terkait erat dengan legenda sang penjaga hutan.
Waktu terus berjalan, dan wilayah Made berubah menjadi permukiman. Hutan yang dahulu menjadi sumber pangan dan obat kini tinggal sebagian kecil. Namun kisah tentang Mbah Joyo tetap hidup di hati warga. Setiap kali mereka melihat punden dan pepohonan tua yang berdiri di sana, mereka teringat pada pesan sang pertapa: bahwa hasil hutan boleh dimanfaatkan, tetapi jangan sampai keserakahan manusia menghapus sumber kehidupan itu sendiri.
Kini, air dari kawasan punden masih mengalir, dimanfaatkan warga untuk keperluan sehari-hari dan mengairi lahan-lahan kecil yang tersisa. Bagi mereka, itu bukan sekadar air biasa, melainkan jejak dari ajaran Mbah Joyo, bahwa kesejahteraan sejati lahir dari keseimbangan antara manusia dan alam.